Titian Hikmah - Satu Hati - HIKMAH ISRA' MI'RAJ
Hikmah yang dapat diperoleh dari pelaksanaan isra’ mi’raj dalam pembinaan rohani dan pemantapan keimanan adalah shalat.
Secara eksplisit Rasulullah saw. pernah menga¬takan bahwa shalat adalah mi’raj seorang mukmin. Pemaknaan shalat sebagai mi’raj jangan cuma diha¬yati sebagai sebuah rutinitas ibadah yang diawali dengan niat dan diakhiri dengan salam. Tetapi shalat harus mampu mengantarkan pelakunya kepada sebuah kesadaran rohaniah yang tinggi seperti halnya mi’raj. Kemudian hikmah lain yang dapat dipetik dari peristiwa isra’ mi’raj adalah keteladanan moral. Peringatan isra’ mi’raj bukan hanya sekedar peringatan dari segi konteks perjala¬nan saja, tetapi me¬nyangkut keteladanan Rasululullah saw., sehingga para sahabatpun tidak meragukan akan hal tersebut.
Abu Bakar yang kemudian mendapat gelar as shiddiq terkait dengan pembenaran yang teguh shiddiq, amanah, pathonah dan tabligh serta sikap terpuji lainnya mem¬buat kaumnya senantiasa yakin dan percaya pada apa yang disampaikannya.
Pragmentasi ini harus menjadi teladan bagi setiap muslim. Jika keteladanan moral ini dapat ditanam¬kan, terutama kepada generasi yang akan datang, maka akan lahir generasi yang bermoral, memiliki keimanan yang tangguh dan terwujudnya negara yang beradab dan menjunjung tinggi etika kemanusiaan. Hikmah inilah yang harus dipetik dari peringatan isra’ mi’raj.
Isra’ dan mi’raj juga memberikan inspirasi untuk merenungi makna ibadah shalat, termasuk aspek saintifiknya. Umat Islam telah membuktikan bahwa sains pun bisa diintegrasikan dalam urusan ibadah, untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah. Demi kepentingan ibadah shalat, umat Islam mengembangkan ilmu astronomi atau ilmu falak untuk penentuan arah kiblat dan waktu shalat.
Tuntutan ibadah mendorong kemajuan sains astronomi pada awal sejarah Islam. Kini astronomi telah menjadi alat bantu utama dalam penentuan arah kiblat dan waktu shalat. Konsepsi astronomi bola digunakan untuk penentuan arah kiblat. Perhitungan posisi matahari digunakan untuk mencari waktu istimewa dalam penentuan arah kiblat dan jadwal shalat harian. Kita cukup melihat jadwal shalat, tidak lagi direpotkan harus melihat langsung fenomena cahaya matahari atau bayangannya setiap akan shalat. Kini semua umat Islam Indonesia, apa pun ormasnya, secara umum bisa bersepakat dengan kriteria astronomis dalam penyusunan jadwal shalat.
Inspirasi pemanfaatan sains dalam ibadah juga diperluas untuk ibadah-ibadah lainnya terkait dengan penentuan waktu. Penentuan awal Ramadhan dan hari raya kini sudah banyak memanfaatkan pengetahuan astronomi atau ilmu falak, baik untuk keperluan perhitungannya (hisab) maupun untuk pengamatannya (rukyat). Penentuan awal Ramadhan atau hari raya yang kadang berbeda saat ini bukan lagi disebabkan oleh perbedaan metode hisab dan rukyat, tetapi lebih disebabkan oleh perbedaan kriteria astronomisnya.
Alangkah indahnya kalau pelajaran kesepakatan kriteria astronomis dalam penentuan jadwal shalat juga diterapkan untuk penentuan awal Ramadhan dan hari raya sehingga potensi perbedaan dapat dihilangkan. Tanpa kesepakatan kriteria itu, tahun ini dan beberapa tahun ke depan kita akan menghadapi lagi persoalan perbedaan awal Ramadhan dan hari raya.
Upaya menuju titik temu kriteria astronomi sudah mulai dilakukan. Tinggal selangkah lagi kita bisa mendapatkan kriteria hisab rukyat Indonesia yang mempersatukan umat. Isra’ mi’raj pun mengajarkan upaya menuju “titik temu” menurut cara pandang manusiawi antara Allah dan Rasulullah terkait dengan jumlah shalat wajib yang semula 50 kali menjadi 5 kali sehari semalam. Satu sisi itu menunjukkan kemurahan Allah, tetapi pada sisi lain kita bisa mengambil pelajaran bahwa kompromi untuk mencapai titik temu adalah suatu keniscayaan. Kita tidak boleh memutlakkan pendapat kita seolah tidak bisa berubah, termasuk untuk mencapai titik temu. Kriteria astronomis hisab rukyat juga bukan sesuatu yang mutlak, mestinya bisa kita kompromikan untuk mendapatkan kesepakatan ada ketenteraman dalam beribadah shaum Ramadhan dan ibadah yang terkait dengan hari raya (zakat fitrah, shalat hari raya, Shaum di bulan Syawal, shaum Arafah)
Isra’ mi’raj memberikan inspirasi mengintegrasikan sains dalam memperkuat aqidah dan menyempurnakan ibadah, selain mengingatkan pentingnya shalat lima waktu.
Wallahu Ta’ala A’lamu bish showwab
Barakallahu fiikum wa jazakumullah khairan khatsir,,
Secara eksplisit Rasulullah saw. pernah menga¬takan bahwa shalat adalah mi’raj seorang mukmin. Pemaknaan shalat sebagai mi’raj jangan cuma diha¬yati sebagai sebuah rutinitas ibadah yang diawali dengan niat dan diakhiri dengan salam. Tetapi shalat harus mampu mengantarkan pelakunya kepada sebuah kesadaran rohaniah yang tinggi seperti halnya mi’raj. Kemudian hikmah lain yang dapat dipetik dari peristiwa isra’ mi’raj adalah keteladanan moral. Peringatan isra’ mi’raj bukan hanya sekedar peringatan dari segi konteks perjala¬nan saja, tetapi me¬nyangkut keteladanan Rasululullah saw., sehingga para sahabatpun tidak meragukan akan hal tersebut.
Abu Bakar yang kemudian mendapat gelar as shiddiq terkait dengan pembenaran yang teguh shiddiq, amanah, pathonah dan tabligh serta sikap terpuji lainnya mem¬buat kaumnya senantiasa yakin dan percaya pada apa yang disampaikannya.
Pragmentasi ini harus menjadi teladan bagi setiap muslim. Jika keteladanan moral ini dapat ditanam¬kan, terutama kepada generasi yang akan datang, maka akan lahir generasi yang bermoral, memiliki keimanan yang tangguh dan terwujudnya negara yang beradab dan menjunjung tinggi etika kemanusiaan. Hikmah inilah yang harus dipetik dari peringatan isra’ mi’raj.
Isra’ dan mi’raj juga memberikan inspirasi untuk merenungi makna ibadah shalat, termasuk aspek saintifiknya. Umat Islam telah membuktikan bahwa sains pun bisa diintegrasikan dalam urusan ibadah, untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah. Demi kepentingan ibadah shalat, umat Islam mengembangkan ilmu astronomi atau ilmu falak untuk penentuan arah kiblat dan waktu shalat.
Tuntutan ibadah mendorong kemajuan sains astronomi pada awal sejarah Islam. Kini astronomi telah menjadi alat bantu utama dalam penentuan arah kiblat dan waktu shalat. Konsepsi astronomi bola digunakan untuk penentuan arah kiblat. Perhitungan posisi matahari digunakan untuk mencari waktu istimewa dalam penentuan arah kiblat dan jadwal shalat harian. Kita cukup melihat jadwal shalat, tidak lagi direpotkan harus melihat langsung fenomena cahaya matahari atau bayangannya setiap akan shalat. Kini semua umat Islam Indonesia, apa pun ormasnya, secara umum bisa bersepakat dengan kriteria astronomis dalam penyusunan jadwal shalat.
Inspirasi pemanfaatan sains dalam ibadah juga diperluas untuk ibadah-ibadah lainnya terkait dengan penentuan waktu. Penentuan awal Ramadhan dan hari raya kini sudah banyak memanfaatkan pengetahuan astronomi atau ilmu falak, baik untuk keperluan perhitungannya (hisab) maupun untuk pengamatannya (rukyat). Penentuan awal Ramadhan atau hari raya yang kadang berbeda saat ini bukan lagi disebabkan oleh perbedaan metode hisab dan rukyat, tetapi lebih disebabkan oleh perbedaan kriteria astronomisnya.
Alangkah indahnya kalau pelajaran kesepakatan kriteria astronomis dalam penentuan jadwal shalat juga diterapkan untuk penentuan awal Ramadhan dan hari raya sehingga potensi perbedaan dapat dihilangkan. Tanpa kesepakatan kriteria itu, tahun ini dan beberapa tahun ke depan kita akan menghadapi lagi persoalan perbedaan awal Ramadhan dan hari raya.
Upaya menuju titik temu kriteria astronomi sudah mulai dilakukan. Tinggal selangkah lagi kita bisa mendapatkan kriteria hisab rukyat Indonesia yang mempersatukan umat. Isra’ mi’raj pun mengajarkan upaya menuju “titik temu” menurut cara pandang manusiawi antara Allah dan Rasulullah terkait dengan jumlah shalat wajib yang semula 50 kali menjadi 5 kali sehari semalam. Satu sisi itu menunjukkan kemurahan Allah, tetapi pada sisi lain kita bisa mengambil pelajaran bahwa kompromi untuk mencapai titik temu adalah suatu keniscayaan. Kita tidak boleh memutlakkan pendapat kita seolah tidak bisa berubah, termasuk untuk mencapai titik temu. Kriteria astronomis hisab rukyat juga bukan sesuatu yang mutlak, mestinya bisa kita kompromikan untuk mendapatkan kesepakatan ada ketenteraman dalam beribadah shaum Ramadhan dan ibadah yang terkait dengan hari raya (zakat fitrah, shalat hari raya, Shaum di bulan Syawal, shaum Arafah)
Isra’ mi’raj memberikan inspirasi mengintegrasikan sains dalam memperkuat aqidah dan menyempurnakan ibadah, selain mengingatkan pentingnya shalat lima waktu.
Wallahu Ta’ala A’lamu bish showwab
Barakallahu fiikum wa jazakumullah khairan khatsir,,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar